Powered By

Powered by Blogger

Powered by Blogger

Minggu, 24 Februari 2008

OOTSOURCING



Sistem kontrak dan outsourcing sesungguhnya bukanlah hal baru. Dalam sejarah perburuhan, praktek-praktek seperti itu sudah ada sejak dulu. Hanya saja, seiring perkembangan dan pembaharuan model-model akumulasi modal, outsourcing dan sistem kontrak kemudian dilegalkan.

Pada masa pendudukan Belanda, sistem kontrak dan outsourcing sudah diperkenalkan pada warga bumiputra. Seiring maraknya sistem tanam paksa (monokultur) seperti tebu, kopi, tembakau, sekitar tahun 1879, pemerintah kolonial Hindia Belanda membuat program besar-besaran dalam upaya menghasilkan barang-barang devisa di pasar internasional. Salah satu upayanya adalah membuka investasi di sektor perkebunan di daerah Deli Serdang. Kebijakan itu diatur oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda dalam peraturan Np. 138 tentang Koeli Ordonantie. Peraturan tersebut kemudian direvisi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Gubernur Jendral Pemerintah Hindia Belanda Nomor 78.

Peraturan tersebut dikeluarkan dengan maksud mulia untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur yang miskin. Regulasi ini kemudian mampu mendorong laju investasi sektor perkebunan tembakau di Deli. Sesuai regulasi yang sudah dikeluarkan di mana mengatur tentang ketentuan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja (koeli) perkebunan maka pada tahun 1879 dibentuklah organisasi yang diberi nama ‘Deli Planters Vereeniging.‘ Organisasi tersebut bertugas untuk mengordinasikan perekrutan tenaga kerja yang murah. Selanjutnya, Deli Planters Vereeniging ini membuat kontrak dengan sejumlah biro pencari tenaga kerja untuk mendatangkan buruh-buruh murah secara besar-besaran terutama dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Deli Planters Vereeniging bekerjasama dengan para Lurah, para Kepala Desa, para calo tenaga kerja, untuk mengangkut kaum bumi putra meninggalkan kampung halamannya menuju tanah perkebunan. Mereka kemudian diangkut ke Batavia, dan di Batavia mereka wajib “menandatangani” perjanjian kontrak yang yang saat itu disebut sebagai Koeli Ordonantie.

Setelah tiba di perkebunan (onderneming), para koeli orang Jawa tersebut dipekerjakan di bawah pengawasan mandor yang bertanggung-jawab atas disiplin kerja. Para mandor ini mendapatkan upah sebesar 7,5% dari hasil kelompok upah para koeli yang dipimpinnya. Pada umumnya, para pemilik perkebunan menerapkan suatu bentuk organisasi dengan hirarki dimana kinerja para mandor ini diawasi oleh mandor kepala, dan selanjutnya para mandor kepala ini diawasi oleh asisten pengawas. Para asisten pengawas ini bertanggungjawab kepada administratur perkebunan. Selanjutnya, para administratur bertanggungjawab kepada tuan juragannya, yaitu para investor yang memiliki perkebunan itu. Pada masa itu, yang paling berpengaruh dan paling berkuasa atas para koeli adalah para atasan langsungnya yaitu para mandor dan mandor kepala, mereka ini yang paling sering melakukan pemerasan terhadap para koeli. Begitu berkuasanya sehingga para koeli jika ditanya dimana dia bekerja, maka jawabannya bukan menyebutkan nama onderneming tempat bekerjanya, akan tetapi akan menyebutkan siapa nama mandor dan nama mandor kepalanya.

Namun pemerasan yang dialami oleh para koeli bukan hanya dari pemerasan langsung yang dilakukan oleh mandor dan mandor kepalanya saja. Para calo dan tuan juragan atau ondernemer secara tak langsung juga melakukan pemerasan. Hutang dan biaya yang diangggap sebagai hutang seperti biaya transportasi dari Jawa ke Deli, biaya makan, biaya pengobatan, biaya tempat tinggal, dengan upahnya yang minim itu seringkali baru dapat terbayarkan lunas setelah para koeli bekerja selama lebih dari 3 tahun kontrak kerja.

Masih pada massa pendudukan Belanda sekitar abad XIX, sistem outsourcing juga sudah dikenal dalam kehidupan buruh (koeli) pelabuhan di Tanjung Priok. Menurut penelitian yang dilakukan Razif, aktivis Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), para buruh Pelabuhan Tanjung Priok direkrut oleh kelompok buruh yang disebut sebagai “animer”. Oleh para animer, tenaga kerja itu biasanya didatangkan dari Jawa Barat. Secara getok-tular, dari mulut ke mulut, kaum muda di perkampungan Lebak, Banten, Cianjur, mereka berbondong-bondong menjual tenaganya. Di kampungnya, produksi pertanian tidak lebih menjanjikan dibanding migrasi ke Tanjung Priok dimana bisa memperoleh “uang” dari upah memburuh.

Ketika memasuki masa kemerdekaan disusul pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, nampaknya peranan “outsourcing” sering diambil alih oleh Disnaker, sistem kekerabatan, maupun para calo tenaga kerja. Proses outsourcing pada era ini berproses relatif secara tidak terkoordinasi. Banyak kasus, perekrutan tenaga kerja dilakukan oleh “kebaikan budi” anggota keluarga terhadap anggota keluarga lain yang membutuhkan pekerjaan (nepotisme). Proses kronisme ini menjadi salah satu faktor migrasi warga desa ke kota yang sangat besar. Biasanya perekrutan dilakukan pada masa lebaran setelah mudik dan kembali ke kota dengan membawa anggota keluarga lain untuk disalurkan ke perusahaan di kota.

Praktek-praktek perekrutan buruh yang dilakukan oleh Disnaker maupun lewat calo, dapat diamati dalam peraturan yang mengharuskan setiap buruh mempunyai “kartu kuning”. Saat pengurusan “kartu kuning”, si calon buruh terdata oleh Disnaker dan sewaktu-waktu akan dipanggil oleh perusahaan yang membutuhkan.

Sementara itu banyak juga para calo yang memanfaatkan para buruh dengan janji pasti mendapat kerja baik di sektor swasta maupun PNS. Sering dijumpai, para calo ini juga berlatar belakang sebagai aparatus seperti anggota TNI atau “orang dalam” (PNS). Para calo tersebut mengharuskan calon buruh membayar tips tertentu. Tips tersebut biasanya berupa dana ratusan hingga jutaan rupiah. Bahkan tak jarang, para keluarga calon buruh tersebut harus menjual sawah atau lahan pekarangan. Bagi buruh perempuan dari keluarga yang tidak membayar membayar tips, bahkan ada yang diminta dalam bentuk “kehormatan perempuan/virginitas”.

Wajah Outsourcing Masa Kini

Bagaimana sistem kontrak dan outsourcing berjalan dewasa ini? Sistem kontrak dan outsourcing telah diatur dalam UU tentang Ketenagakerjaan No 13 tahun 2007. Keberadaan undang-undang tersebut tak lepas dari upaya pemerintah untuk menarik investasi ke Indonesia sehingga dengan itu, lapangan kerja bertambah dan mampu menyerap pengangguran. Dengan demikian diharapkan bisa menekan angka kemiskinan dan memacu angka pertumbuhan ekonomi negara.

Dalam regulasi tersebut, kebutuhan tenaga kerja untuk menjalankan produksi disuplai oleh perusahaan penyalur tenaga kerja (outsourcing). Di satu sisi tenaga kerja (buruh) harus tunduk dengan perusahaan penyalur, di sisi lain harus tunduk juga pada perusahaan tempat ia bekerja. Kesepakatan mengenai upah ditentukan perusahaan penyalur dan buruh tidak bisa menuntut pada perusahaan tempat ia bekerja. Sementara itu, di perusahaan tempat ia bekerja, harus mengikuti ketentuan jam kerja, target produksi, peraturan bekerja, dan lain-lain. Setelah mematuhi proses itu, baru ia bisa mendapat upah dari perusahaan penyalur. Hubungan sebab akibat antara bekerja dan mendapatkan hasil yang dialami buruh tidak lagi mempunyai hubungan secara langsung. Bila tanpa lembaga penyalur, buruh memperoleh upah dari perusahaan tempat ia bekerja sebagai majikan, kini harus menunggu perusahaan tempat ia bekerja membayar management fee kepada perusahaan penyalur sebagai majikan kedua, baru ia memperoleh kucuran upah.

Pelegalan yayasan penyalur tenaga kerja atau outsourcing seperti diatur dalam UU No 13 tahun 2003, dalam prakteknya terbukti menjadi ajang praktek-praktek “percaloan modern”. Untuk mendapatkan pekerjaan lewat yayasan tersebut, buruh harus melalui deal-deal dengan pihak yayasan dan perusahaan tempat bekerja. Ia diharuskan membayar sejumlah uang DP dari Rp 25.000 hingga Rp 500.000, Tak jarang juga, gaji buruh harus dipotong 15% - 25% oleh Yayasan. Saat masuk kerja dimana ia ditempatkan, dibayang-bayangi batas waktu kerja (kontrak) dan harus menganggur atau cari kerja lagi di tempat lain. Bila terjadi kesalahan, bisa dipecat sewaktu-waktu tanpa perlindungan dari pihak yayasan penyalur tersebut.

Dengan adanya sistem kontrak dan outsourcing (plus dilegalkan), setiap perusahaan secara leluasa dapat melakukan upaya efisiensi (baca: mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya) yang sah sesuai aturan tersebut karena dapat menekan biaya tenaga kerja sebagai salah satu unsur biaya produksi yang harus dikeluarkan perusahaan. Agar perusahaan dapat menjalankan sistem kontrak dan outsourcing, maka trik-trik relokasi, pemutihan, PHK massal adalah langkah-langkah yang biasanya ditempuh terlebih dahulu sebelum eksploitasi terhadap buruh bisa berjalan efektif.

Hingga seorang buruh korban PHK massal PT Hitek Indonesia bisa menuturkan pengalamannya sebagai pekerja tetap, kontrak, dan harian lepas secara panjang lebar. Pertama kali ia bekerja di pabrik PT HITEK sebagai karyawan tetap. Pada akhir tahun 2005, Perusahaan akan melakukan relokasi pabriknya ke Cianjur. Bagi karyawan yang ingin tetap bekerja di Cianjur, wajib mengajukan pengunduran diri dan akan diterima bekerja kembali, tetapi harus bersedia dengan sistem kontrak. Bagi yang tidak menerima pemutihan tersebut, maka akan di-PHK dengan pesangon yang telah ditentukan perusahaan. Karena menolak pemutihan, buruh “malang” tersebut berjuang untuk mendapatkan pesangon sesuai ketentuan. Tetapi proses mendapatkan pesangon tersebut tidaklah mudah.



Pustaka: dari berbagai sumber

Tidak ada komentar: