Powered By

Powered by Blogger

Powered by Blogger

Minggu, 24 Februari 2008

UPAH MURAH BAGI BURUH


Ign. Taat Ujianto
Penentuan Upah Murah Dewasa ini

Dasar-dasar penentuan upah telah diatur dalam UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan dan Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.17/2005 tentang komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak.

Penentuan UMK diawali dengan penentuan standar hidup layak oleh Dewan pengupahan Dewan tersebut beranggotakan Perwakilan Pemerintah, Pengusaha dan Buruh serta akademisi. Di wilayah Tangerang, masing-masing perwakilan terdiri dari tujuh orang. Seluruh anggota dewan mendapatkan gaji dari pemerintah.

Untuk bisa menjadi wakil buruh dalam dewan pengupahan, harus berpendidikan minimal D3 atau S1. Selain itu, ia harus direkomendasikan/diusulkan oleh organisasi-organisasi buruh besar yang dalam pelaksanaannya sering didominasi serikat buruh yang selama ini dibentuk oleh perusahaan dan pro-pemerintah/pengusaha. Berdasarkan pengalaman para buruh di wilayah Tangerang, penentuan perwakilan dari buruh tersebut sulit dikontrol.

Dewan melakukan pleno penentuan UMK di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten/kota. Sidang tersebut seringkali bersifat tertutup, tidak mudah diketahui publik dan tidak diumumkan kepada kaum buruh. Di Tangerang, agar para buruh mengetahui perumusan UMK tahun 2008 yang rencananya diawali sidang dewan pengupahan, mereka harus menginap di kantor depnakertrans agar “tidak kecolongan”.

Setelah diputuskan pleno, dewan pengupahan merekomendasikan nilai UMK kepada Bupati/Walikota. Walikota/Bupati selanjutnya menyampaikan kepada Gubernur untuk disahkan.

Mengapa upah buruh sangat murah?

Jumlah upah yang diberikan perusahaan kepada buruhnya didasarkan pada standar upah minimum yang disebut upah minimum kota (UMK). UMK didasarkan pada penghitungan nilai Kebutuhan hidup layak (KHL) paling rendah (minimum). KHL artinya penhitungan harga-harga bahan-bahan keperluan hidup yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan buruh sebagai seorang buruh dalam hidup sekedarnya. Artinya, apa yang didapat oleh buruh berkat kerjanya, hanyalah cukup untuk memperpanjang dan melanjutkan lagi hidup yang sekedarnya itu.

Perumusan jumlah UMK dibuat oleh dewan pengupahan yang terdiri dari kaum akademisi, perwakilan buruh (serikat buruh), pengusaha (Apindo), dan difasilitatori oleh Depnaker. Masing-masing pihak paling tidak diwakili sebanyak tujuh orang. Mereka membuat kesepakatan bersama menentukan jumlah upah yang dianggap layak untuk hidup bagi buruh selama satu bulan. Angka-angka didapat berdasarkan survey yang dibuat dengan memperhatikan harga-harga item-item kebutuhan di pasar sekitar wilayah kota, seperti diatur dalam Permen Menaker No.17/2005. Besarnya KHL yang disepakati dewan pengupahan selanjutnya diajukan Bupati dan ke Gubernur untuk disahkan.

Dalam prakteknya, data-data penentuan besarnya upah minimun yang dihasilkan oleh survei tak jarang dimanipulasi. Manipulasi tersebut dilakukan melalui modus pendataan harga-harga yang berlaku di pasar-pasar induk kota tertentu. Akibatnya, terdapat selisih yang signifikan antara harga di pasar induk dengan pasar tempat para buruh mengkonsumsi kebutuhannya sehari-hari seperti toko kelontong, toserba, dan warung-warung sekitar permukiman buruh. Angka-angka sering kali juga diambil berdasarkan tingkat harga terendah produk tertentu tanpa melihat kualitas yang memadai. Misalnya, dalam memenuhi kebutuhan penutup dada kaum perempuan (BH), seharusnya juga memperhatikan bahan yang sehat bagi alat reproduksi. Di sisi lain, seperti diatur dalam Permen Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.17/2005, standar yang diambil juga masih berdasarkan kebutuhan hidup seorang buruh lajang. Sehingga, tanggungan anak istri, pendidikan anak, tidak masuk dalam penghitungan.

Dalam pembahasan besarnya UMK, selalu diwarnai perdebatan yang sulit untuk mencapai kesepakatan. Dalam situasi tersebut, pihak perwakilan buruh lebih sering kalah ketika pihak perwakilan pengusaha mengajukan jumlah UMK yang lebih rendah dibanding kehendak serikat buruh. Para pengusaha sering menggunakan dalih, “perusahaan sedang merugi, sepi order” dan menolak permintaan serikat buruh tetapi sering tidak dilakukan audit/penelitian atas kebenaran dalih tersebut. Kalaupun pengusaha memperkuat dengan laporan rugi-laba yang ia sampaikan di sidang, kebenaran akan laporan itu masih disanksikan. Sebab, berdasarkan pengalaman serikat buruh KASBI, pada tahun 2005, ketika sebuah perusahaaan mengaku merugi, ternyata setelah dilakukan penelitian yang dilakukan buruh tidaklah demikian. Dalih perusahaan sedang merugi adalah alasan klasik yang dipakai para pengusaha untuk menekankan kepentingannya.

Selain alasan sedang merugi atau sepi order, pernyataan mereka juga diperkuat bahwa akibat BBM yang terus naik, beban biaya produksi perusahaan begitu berat. Penolakan jumlah UMK versi buruh kemudian dipertegas melalui pernyataan, “perusahaan akan bangkrut bila dipaksa memenuhi UMK yang dikehendaki pihak perwakilan buruh dan yang rugi adalah buruh karena kehilangan pekerjaan”.

Kehendak perwakilan buruh untuk mendapatkan jumlah upah yang dianggap lebih layak semakin sulit tercapai ketika pengusaha kemudian melakukan pukulan telak lainnya. Tak jarang, pengusaha “mengancam” akan memindahkan modal (perusahaan) ke daerah lain atau negara lain bila tidak menerima UMK versi pengusaha. “Ancaman” ini ikut digarisbawahi oleh perwakilan Disnaker yang menempatkan diri sebagai pihak “pemerintah” yang mempunyai kepentingan untuk membuka investasi sebagai alat mengurangi jumlah pengangguran, malah ikut terancam. Sikap semacam ini juga muncul di kalangan anggota DPRD tatkala buruh melakukan pengaduan di hadapan sidang DPRD. Oleh anggota DPRD, buruh sering disarankan agar memahami persoalan kesulitan pengusaha agar pengusaha tidak kabur ke daerah lain yang mana justru akan merugikan buruh.

Penelikungan jumlah UMK juga terjadi. Sebelum jumlah UMK diputuskan dan diajukan ke Gubernur oleh Dewan Pengupahan untuk disahkan, ternyata di sisi lain, Gubernur sudah punya “versi jumlah UMK” lain lagi sebagai hasil kompromi gelapnya. Gubernur mensahkan UMK yang tak ada kaitannya dengan pembahasan di Dewan Pengupahan, tetapi dipastikan jumlahnya di bawah UMK versi Serikat Buruh maupun Dewan Pengupahan.

Tatkala UMK sudah disahkan, mayoritas perusahaan memberikan upah kepada buruh berdasarkan UMK tersebut, tetapi makna “minimum” tersebut bukan berarti seharusnya lebih besar dari UMK. Mayoritas upah yang diberikan adalah sama dengan jumlah UMK. Bahkan, ada perusahaan yang memberikan di bawah UMK. Menurut keterangan Bapak Madani, Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Sumenep, sepanjang tahun 2007, 60% perusahaan di Sumenep menggaji karyawan dibawah UMK yang ditetapkan. Tatkala kemudian digugat buruh dan diproses melalui ketentuan, pihak Disnaker seringkali terlalu memberikan toleransi dengan tidak segera menindak perusahaan yang “nakal” seperti diatur dalam ketentuan UU 13/2003 dimana perusahaan tidak memberikan upah di bawah UMK (pasal 60 ayat 2).

Sementara buruh tidak dapat mendapatkan UMK yang diharapkan, saat mereka bekerja dalam perusahaan, pengusaha ternyata memberlakukan peraturan lainnya. Ketika buruh ingin mendapatkan upah lebih dari UMK, misalnya melalui lembur, perusahaan mensiasati kecenderungan buruh dengan membuat peraturan tentang sistem borong atau sistem kejar target. Isinya mengharuskan buruh untuk memenuhi target produksi dengan jumlah tertentu selama jam kerja. Apabila target tidak tercapai, maka UMK bisa dipotong. Tetapi apabila target tercapai dan ternyata lebih, buruh bisa mendapatkan bonus. Akan tetapi, ketika bonus ternyata mudah didapat oleh buruh (target produksi mudah diperoleh buruh) maka dibuatkan peraturan baru yang menaikan target yang harus dicapai buruh. Akibatnya, buruh akan semakin dipacu (baca: diperas) agar berproduksi ekstra agar upah bertambah. Tetapi kian hari semakin sulit dan berat.

Problem Upah Buruh perempuan

Bagi buruh perempuan, kondisinya jauh lebih rumit lagi. Dalam melakukan kontrol terhadap buruh perempuan yang mengajukan cuti dengan alasan haid, perusahaan menuntut pembuktian secara fisik apabila tetap ingin mendapatkan upah. Pelaksanaan pembuktian secara fisik bisa diartikan macam-macam sementara siapa yang harus membuktikan tidaklah jelas diatur.

Cuti karena kelahiran biasanya diberikan selama tiga bulan bagi buruh dengan status sebagai karyawan tetap. Tiga bulan terdiri dari satu setengah bulan sebelum dan sesudah melahirkan. Selama cuti tersebut, buruh masih mendapatkan gaji. Akan tetapi, mengingat masa berat justru berada pada masa setelah melahirkan, pihak buruh perempuan seringkali melakukan rekayasa agar masa cuti lebih lama waktunya pada masa setelah melahirkan. Kadang dibuatlah surat keterangan dokter yang berisi “mempermuda” usia kehamilan sehingga bisa mendapatkan waktu istirahat setelah melahirkan lebih lama. Terhadap modus tersebut, apabila perusahaan mengetahuinya, maka buruh tersebut akan diancam pemotongan gaji sebesar 50% dari total gaji selama tiga bulan cuti.

Diskriminasi terhadap buruh perempuan juga terlihat dari model penentuan upah minimum yang berlaku. Upah yang yang dihitung berdasarkan kebutuhan hidup lajang (belum berkeluarga), menempatkan kebutuhan kaum perempuan seolah sama dengan buruh laki-laki lajang. Padahal bila dikaji lebih jauh, untuk kebutuhan layak kaum perempuan khususnya yang sedang menyusui bayi, jauh lebih membutuhkan makanan yang bergizi untuk kesehatannya dan anaknya. Di sisi lain, model upah yang berlaku sangatlah “patriarkis”. Item seperti tunjangan anak, tidak pernah diberikan kepada kaum perempuan. Tidak pernah ada istilah tunjangan “suami” walaupun suaminya menganggur dan sumber penghasilan ditopang dari upah kerja sang istri.

Tidak ada komentar: