Powered By

Powered by Blogger

Powered by Blogger

Sabtu, 08 Maret 2008

Adil-lah kepda buruh

Laporan Board Executive IMF yang dirilis 22 Februari 2006 lalu menyebutkan pemerintah telah membuat langkah maju memberantas korupsi. Namun dalam meningkatkan labour market flexibility (fleksibilitas pasar tenaga kerja), pemerintah masih lamban. Laporan itu memperlihatkan IMF memiliki kepentingan terhadap revisi Undang-undang No 13/2002 tentang Ketenagakerjaan (UUK).

Draf RUU revisi UUK yang merupakan bagian dari ‘paket perbaikan iklim investasi’ tersebut dikukuhkan dengan Inpres No 3/2006. Draf RUU itu tampaknya akan direvisi lagi dari nol, mengingat buruh tidak dilibatkan dalam pembahasan draf awal yang diajukan pemerintah.

Blundernya permasalahan ini disebabkan dua faktor. Pertama, cara Menteri Tenaga Kerja, Erman Suparno, yang tidak elegan di mata buruh. Dia meminta buruh selaku elemen tripartit langsung menyepakati draf yang diajukan pemerintah tanpa mengajak buruh mendiskusikannya. Kedua, pasal-pasal draf yang diajukan pemerintah terasa menohok pengabaian kepentingan buruh. Keduanya tak lepas dari permasalahan kebijakan industri yang kurang tepat sasaran, juga korupsi.

Kebijakan industri
Lihatlah bagaimana Prancis, Austria, Norwegia, dan Finlandia, pasca-Perang Dunia II, menempuh kebijakan industrial yang selektif. Kebijakan selektif it meliputi perencanaan investasi, pengendalian negara atas transaksi keuangan, peran sentral badan-badan usaha milik negara (BUMN), berbagai proteksi perdagangan, dan subsidi industrial untuk memodernisasi perindustrian mereka untuk bersaing. Selanjutnya mereka melampaui negara-negara maju saat itu.

Stiglitz (2005) mencatat bahwa industri telekomunikasi di tahun 1842, awalnya dibentuk oleh negara. Pembangunan jalur telegraph pertama yang membentang antara Baltimore dan Washington, juga dibangun negara. Teknologi internet yang kini berperan besar dalam perekonomian global, pun diciptakan oleh Pemerintah Amerika Serikat (AS).

Industri-industri utama AS di abad ke-19, di antaranya industri agrikultur, mendapat sokongan penuh dari Pemerintah AS, bahkan sampai saat ini. Barulah ketika AS telah menjadi kekuatan ekonomi yang dominan pasca Perang Dunia II, ia melangkah memasuki perdagangan bebas.

Contoh lain, pada abad ke-16, Inggris menjalankan kebijakan industrial selektif dengan memberikan perlakuan istimewa dan proteksi terhadap industri wool yang jadi andalannya. Kebijakan ini akhirnya mengantarkan Inggris menjadi negara industri wool utama di dunia. Baru pada abad ke-19, kebijakan proteksionistis itu mulai dilonggarkan dan Inggris mulai meliberalisasi pasarnya.

Kebijakan industri selektif di Indonesia pada era Orde Baru, tidak membawa kita pada akhir cerita sukses sebagaimana negara-negara di atas. Kegagalan lebih banyak disebabkan masalah implementasinya. Absennya mekanisme yang tepat dalam hal akuntabilitas, pengawasan kinerja, dan manajemen, menjadi penyebab utama kegagalan.

Alice Amsden (1989), profesor ekonomi-politik di Massachusetts Institute of Technology (MIT) –yang banyak meneliti industrialisasi di Asia– mencatat bahwa keberhasilan kebijakan industri sangat bergantung pada komitmen pemerintah untuk melakukan pemantauan (monitoring) dan penilaian target kinerja. Kondisi ini akan berakibat pada kondisi sosial masyarakat suatu negara.

Regulasi Harapan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai di atas tujuh persen dirasa terlalu berlebihan. Pertumbuhan cukup empat persen dengan syarat perhatian pemerintah terhadap Industri serta pelaksanaannya cukup baik dan berkesinambungan.

Pemerintah seharusnya menentukan pula langkah terbaik untuk buruh dan pengusaha, bukan berpihak dan malah membuat mereka terus bersitegang mempertahankan kepentingan masing-masing. Memperbaki iklim investasi bukan hanya permasalahan labour market flexibility, tapi juga harus konsentrasi pada iklim penanaman modal, kepabeanan, bea cukai, mengatasi permasalahan TKI, pajak, dan lain-lain.

Biaya ekonomi tinggi bagai duri dalam daging bagi pengusaha. Ini merupakan permasalahan dari birokrasi pemerintahan yang korup. Jadi janganlah buruh dan pengusaha saja yang dikorbankan, tapi lakukanlah pembenahan konkret di internal pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Selama ini, regulasi yang ditawarkan pemerintah membuat manja pengusaha, hingga berdampak buruk. Saat ini pengusaha tidak mampu mandiri dan terus berharap kucuran subsidi. Sebut saja perkara Texmaco, Great River Internasional, Hotel Indonesia, dan masih banyak tumpukan masalah yang akar permasalahannya adalah ketidakmandirian pengusaha.

Pengusaha di Indonesia merasa berat membayar uang pesangon buruh. Mereka berusaha membandingkan dengan Cina, Belgia, dan negara-negara Asia Tengah lainnya yang tidak begitu berat dalam hal pembayaran pesangon. Padahal sebenarnya hal itu wajar, karena buruh di negara-negara tersebut sudah makmur dan ditanggung negara. Indonesia tidak demikian. Pemerintah seharusnya mulai menumbuhkan responsibility terhadap pemberlakuan UU No 11/1992 tentang Dana Pensiun dan Keputusan Menteri Keuangan No 343/KMK.017/1998 tentang Iuran dan Manfaat Pensiun. Pemerintah wajib memberikan kontrol terhadap pemberlakuan peraturan-peraturan tersebut. Jika perlu berikan sanksi yang jelas kepada perusahaan-perusahaan yang tidak memberikan tanggung jawab sosial mereka kepada buruh-buruhnya.

Yang kita lihat sekarang, pemerintah dengan alasan otonomi daerah menyatakan kesulitan mengawasi hal-hal tersebut. Padahal tidaklah begitu sulit jika saja pemerintah memiliki sense of social yang tinggi dan perhatian terhadap pemberlakuan suatu aturan hukum.

Belajar dari AS dan negara-negara Uni Eropa, Pemerintah Indonesia seharusnya mempertimbangkan komposisi masyarakat dalam mengambil kebijakan industri yang dampaknya akan ada pada kebijakan sosial. Untuk Indonesia, tidak bisa tidak, tetap harus mempertimbangkan posisi tawar buruh. Maka hendaknya dalam menyusun proses pembangunan di era pasar bebas seperti sekarang, berbuat adillah pada buruh, juga pengusaha.

Tidak ada komentar: